Minggu, 13 Februari 2011

REDIFINISI MA'RIFATULLAH :
Meluruskan Persepsi Tanpa Logika Materi
Kajian bersama Bp. Khoerudin
dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Bagian Ekonomi;
Sabtu, 29 Januari 2011; di Aula Majlis Ta’lim Aisyiyah Kebumen Utara.


Saya akan memulai kajian kita ini dengan hal yang tidak biasa. Meskipun diharapkan pertemuan ini menjadi rutin, akan saya coba untuk keluar dari rutinitas tema pengajian yang sudah-sudah. Selama ini rutinitas tema pengajian hanya seputar hal yang itu-itu saja; dalil yang dipakai juga itu-itu saja. Rutinitas berputar dan berulang tanpa kita mencoba merambah ranah tema kajian lain yang ada dalam aspek-aspek Islam. Contohnya kalau datang bulan puasa, ayat yang muncul pasti kutiba. Dan itu berulang pada momen-momen rutin yang lain. Bahkan zakat tidak dikenal di masyarakat. Itu karena materi zakat tidak masuk dalam rutinitas seremonial keagamaan seperti halnya puasa, Idul Fitri, Halal-bi-Halal, Idul Adha, Maulid Nabi, Muharram, dan seterusnya.
Maka persepsi kita terhadap Islam pun hanya berputar pada tema-tema tersebut. Oleh karena itu akan saya mulai kajian kali ini dengan hal yang sangat mendasar, yaitu ma’rifatullah.

Apakah selama ini kita sudah benar-benar mengenal Allah? Kalau persoalan mengenal Allah, sebelum Muhammad menjadi Rosul pun orang kafir Quraisy sudah mengenal Allah. Mengimaninya bahkan. Namun terdapat kontradiksi. Mereka mengakui keberadaan, kekuasaan Allah, namun sikap yang mereka praktekkan menunjukkan kalau mereka mengingkari-Nya.

84. Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu    mengetahui?"
85. Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah kamu tidak ingat?"
86. Katakanlah: "Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya 'Arsy yang besar?"
87. Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah kamu tidak bertakwa?"
88. Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?"
89. Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka dari jalan manakah kamu ditipu?"



Kembali lagi kepada kita, apakah persepsi kita terhadap Allah seperti orang kafir Quraisy tersebut? Kalau tidak, sebenarnya bagaimana persepsi mengenai Allah dalam Al-Qur’an? Apakah selama ini kita sudah mempersepsikan Allah sesuai dengan yang disiratkan dalam Al-Qur’an? Atau jangan-jangan selama ini persepsi kita terhadap Allah salah. Persepsi kita tidak sesuai dengan bagaimana kita seharusnya mempersepsikan Allah.
Persepsi adalah cara pandang. Kalau cara pandang kita terhadap Allah tidak tepat, bisa jadi pemahaman kita terhadap Allah juga tidak tepat. Memahami Allah tergantung pada bagaimana persepsi kita, cara pandang kita. Kita tidak berhak mempersepsikan Allah dengan cara pandang kita sendiri. Kita harus mempersepsikan Allah sesuai dengan sudut pandang yang ada dalam Al-Qur’an.
Pemahaman kita terhadap sesuatu tergantung bagaimana persepsi, cara pandang kita. Misalnya, kita menganggap semut itu kecil karena kita membandingkannya dengan sesuatu yang lebih besar. Padahal pada hakekatnya semut itu bukan “hewan yang kecil” jika dibandingkan dengan mikroba atau binatang bersel satu.
Contoh lain, ketika kita misalnya saja ke tanah suci dan berdiri di Jabal Nur, ketika kita melihat orang-orang di bawah, dari sudut pandang kita orang-orang tersebut menjadi “kecil”. Padahal pada hakekatnya tidak demikian. Sekali lagi persepsi menjadi penting dalam memahami sesuatu.



KESALAHAN PERSEPSI

Ada beberapa persepsi kita yang sering salah dalam ma’rifatullah.

Takabur

Kita sering tanpa disadari menjadi takabur, yaitu mempersepsikan Allah tidak sesuai dengan sifat-sifat-Nya dalam Al-Qur’an. Misalnya, bagaimana seharusnya persepsi kita terhadap kepemilikan sifat Allah Yang Maha Besar (Allahu Akbar)? Kenyataannya kita sering tidak mempersepsikan Allah sebagaimana Ia memiliki sifat “Maha Besar”. Kita sering masih menganggap kalau kita “lebih besar” dari Allah. Persepsi bahwa Allah “Maha Besar” adalah dengan membandingkan eksistensi diri kita dengan Allah. Kita sebagai manusia jika dibandingkan dengan gajah, lebih besar siapa? Gajah dibandingkan dengan bumi, lebih besar siapa? Bumi sendiri yang menciptakan siapa? Lalu lebih “besar” siapa, manusia ataukah Allah?
Ketika kita menganggap kalau rezeki, kesehatan itu adalah hasil usaha diri kita sendiri, tanpa ada peran Allah, itu berarti kita sudah merasa “lebih besar” dari Allah. Ketika berdiri untuk sholat, tapi pikiran kita sering tidak “menghadirkan” Allah sebagaimana Ia bersifat Maha Besar dan Maha Agung, maka kita sudah mulai merasa “lebih besar” dari Allah.
Jika manusia sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan alam semesta, maka manifestasi iman kita terhadap Allah yang “Maha Besar” adalah dengan meyakini diri kita sangatlah kecil, setitik debu pun tidak ada. Ketika kita mengucap Allahu Akbar dalam setiap sholat kita, seyogyanya lah kita menganggap diri kita sangat kecil, tidak ada apa-apanya. Kalau sedikitnya, melalui sholat kita, kita mengucapkan Allahu Akbar setiap harinya sebanyak 85 kali, seharusnya dalam keseharian kita yang ada di pikiran kita hanyalah Allah. Karena sepanjang hari akan menganggap Allah “begitu besarnya” dimana kita tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Allah.
Bahkan sesungguhnya, kita itu pada hakekatnya “tidak ada” jika dibandingkan dengan “keberadaan” Allah. Keberadaan kita tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan “kebesaran” Allah. Kita “ada” karena “diadakan” oleh Allah. Kita berada di sini semua, saya bisa sampai di sini, itu juga karena “diperjalankan” oleh Allah.
Kita juga sering tidak mempersepsikan Ar-Rohman–Ar-Rohim dengan sebagaimana mestinya. Sikap kita, keyakinan kita, sering bertolak belakang dengan pemahaman dan pengakuan sadar kita terhadap sifat-sifat Allah tersebut, yaitu “Maha Pengasih” dan “Maha Penyayang”. Kita tahu, mengimani kalau Allah itu “Maha Pengasih dan Penyayang”, namun kita sering tidak yakin dengan jaminan bahwa Allah akan mencukupkan rezeki seseorang.

 Ketika di satu sisi, harga kebutuhan pokok naik, sedangkan di sisi lain gaji tidak ikut naik, kita merasakan adanya ketimpangan, ketidakadilan. Kita protes, harga-harga naik tapi gaji kok tidak ikut naik? Muncul keraguan: apa cukup, apa bisa untuk hidup?
 Kita merasa tenang, merasa lebih yakin ketika dijanjikan, dijamin sesuatu oleh manusia. Tapi tidak yakin dengan janji-janji Allah. Mengapa justru janji manusia lebih diyakini ketimbang janji Allah? Kita meyakini bahwa ud’uuni astajib lakum. Dalam Surat Al-Mu’min: 60

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. ".

Allah akan meluluskan permintaan hamba-Nya jika ia berdoa. “Berdoalah kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan”. All we have to do is ask. Tapi seringnya keyakinan kita itu diikuti dengan ketidakyakinan. Kita meyakini do’a sebagai wasilah untuk mewujudkan keinginan; tapi kita sering ragu: apakah saya bisa menghidupi keluarga? Apakah saya bisa berhasil dalam usaha/bisnis?
 Secara absolut, gaji yang tidak naik itu nilainya tidak berubah. Jumlahnya masih tetap. Tapi menjadi relatif ketika dibandingkan dengan kebutuhan hidup yang naik. Secara relatif gaji yang tidak naik akan njomplang jika dibandingkan dengan kebutuhan pokok yang naik.
 Dengan pendapatan saat ini yang segini saja, untuk hidup mandiri saja sudah sulit. Lalu kita akan ragu untuk menikah, untuk hidup bersama. Logikanya, untuk hidup sendiri saja sulit, apalagi berdua? Belum lagi nanti kalau punya anak, menyekolahkan, dan seterusnya.

Nah, terbukti kita masih belum yakin. Persepsi kita terhadap “Ar-Rohman-Ar-Rohim” masih belum betul, karena sesuai sifat Allah tersebut, Allah akan menjamin rezeki seseorang. Wong binatang melata saja dijamin rezekinya. An-Nur: 32.

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (An-Nur: 32.)

Jika kamu miskin, akan dikayakan.

 Kesehatan juga termasuk rezeki. Tapi ketika kita mendo’akan orang yang sakit parah, secara tidak sadar akal sehat kita sering menafikan kekuasaan Allah dengan berkata: “Apa bisa sembuh, wong sudah divonis hidup tidak lama lagi”. Ini bukan masalah ketepatan prediksi medis, tapi persoalan keyakinan akan kekuasaan Allah.

Sesuai dengan gambaran di atas, jika ternyata persepsi kita terhadap sifat-sifat Allah berbeda dengan apa yang digambarkan dalam Al-Qur’an, lalu apa bedanya kita dengan kaum kafir Quraisy yang mengakui Allah tapi ingkar seperti yang digambarkan dalam Al-Mu’minuun 84-87.
Kita takabur jika menurut Allah cukup, tapi menurut kita tidak cukup. Sekali lagi, persepsi kita harus tepat. Kita tidak akan dapat “mencapai” Allah jika cara kita memahami, persepsi kita tidak benar. Sifat takabur, ingkar terhadap nikmat Allah inilah yang sering membuat kita tidak menyadari akan anugerah Allah.

Mempersepsikan dengan akal.

Kita sering berupaya mensejajarkan akal kita dengan kekuasaan Allah. Atau bahkan kita menganggap akal kita lebih hebat dari kekuasaan Allah. Kita berusaha memahami Allah dengan akal kita, dengan logika kita. Kita akan salah pemahaman, ketika kita berusaha mempersepsikan Allah dengan akal. Kalau hal ini dilakukan, pemahaman kita akan salah. Karena Allah itu bersifat ghoib, tidak terjangkau oleh akal.

Jadi alam itu sebenarnya di bagi 2, yaitu:
- alam syahadah (bisa dijangkau oleh indera secara langsung/tidak langsung )
- Alam ghoib (tidak bisa dijangkau oleh indera secara langsung/tidak langsung )

Alam syahadah adalah alam yang kita rasakan saat ini, yang dapat dijangkau oleh indera kita, langsung/tidak langsung. Dalam memahami alam syahadah harus memakai logika dan dalil-dalil aqli. Sedangkan alam ghoib adalah alam yang tidak kita ketahui, tidak dapat kita rasakan, karena tidak dapat dijangkau oleh indera, langsung/tidak langsung. Kita tidak bisa membuktikan keberadaan yang ghoib jika acuan kita adalah logika. Sehingga pemahaman terhadap keberadaan yang ghoib adalah dengan mengesampingkan logika dan menggunakan dalil naqli.
Contoh kesalahan kita yang sering menggunakan akal dan logika dalam mempersepsikan sesuatu yang ghoib adalah persepsi kita terhadap setan. Lebih parah lagi, kita sudah kadung latah mempersepsikan bahwa setan itu adalah hantu (?!) Apakah hantu itu sama dengan setan? Apakah hantu itu merupakan wujud setan himself/bukan? Apakah hantu itu ada, ataukah itu hanya kesalahan persepsi akal dan logika kita saja yang tidak bisa memahami sesuatu yang ghoib? Kalau ditelusuri lebih lanjut, anggapan kita kalau rumah kosong atau kuburan itu pasti ada hantunya, dan seringnya kita meyakininya demikian, sangat tidak logis! Karena hal ini sudah disebutkan melalui dalil naqli bahwa setan itu “bersumpah akan terus menggoda manusia”, bukannya malah nongkrong nganggur di rumah kosong atau kuburan dan makan gaji buta. Persepsi kita mengenai setan/hantu sudah kaprah terbentuk oleh media elektronik (film), cerita, dan redaksi dari orang-orang yang tidak bisa kita buktikan kebenarannya.
Memahami Alah juga seperti hal tersebut, karena Allah juga bersifat ghoib. Memahami Allah tidak bisa dengan memakai dalil aqli tapi harus memakai dalil naqli. Tapi digaris bawahi bahwa meskipun memahami Allah yang ghoib tidak bisa memakai akal, tapi secara mutlak kita yang berada di alam syahadah harus menggunakan akal sebagai wasilah (sarana) untuk memahami Allah. Kita akan bisa memahami Allah “melalui” akal. Kita bisa memahami Sang Khalik melalui “makhluk”-Nya.
Contohnya adalah mengenai kesembuhan/rezeki yang diberikan Allah kepada kita. Kita bisa memahami kekuasaan Allah dalam menyembuhkan orang sakit dengan logika dan dalil aqli, dengan menggunakan ilmu medis dan indikator-indikator kesehatan. Kesembuhan itu dapat kita pahami dengan menilai hal-hal tersebut. Namun kekuasaan Allah tersebut tidak bisa kita pahami kalau hanya dengan logika dan dalil aqli. Meskipun kita tidak boleh menafikan ikhtiar, kesembuhan seseorang itu adalah hak prerogatif kuasa Allah, bukan hak kuasa manusia. Meskipun dalam mengupayakan kesembuhan kita harus berdo’a dan berusaha, namun perlu diyakini bahwa cara pengabulan pemohonan oleh Allah itu sering tidak sama dengan pemahaman manusia yang dangkal dan kerdil.
Itulah mengapa dalam persoalan rezeki, keyakinan kita tidak bisa didasari oleh logika. Logika tidak berlaku ketika Allah memberikan rezeki melalui cara-cara yang tidak disangka-sangka.

Jadi mempersepsikan Allah sebagai sesuatu yang ghoib itu adalah dengan memahami gambaran yang ada dalam Al-Qur’an.

Memahami Allah Melalui Logika Materi

Kita sering memahami Allah dengan menggunakan logika materi. Pemahaman kita sudah dikaburkan dengan bias doktrin-doktrin sains yang mendasarkan logikanya pada materi. Dalam ilmu fisika misalnya, terdapat dalil Hukum Newton I yang menyebutkan bahwa: “jika resultan gaya yang bekerja pada benda yang sama dengan nol,maka benda yang mula2 diam akan tetap diam” atau dengan kata lain “materi tidak akan bergerak jika tidak ada yang mendorong/menggerakkan”. Atau August Comte (aliran positivisme) yang mengatakan bahwa “manusia itu pada dasarnya berasal dari perputaran materi”. Saking dalamnya doktrin ini menancap dalam benak kita, kita lupa mempertanyakan hal-hal berikut: Lalu siapa/apakah yang pertama kali menggerakkan materi? Siapa/apakah yang pertama kali menciptakan materi? There always be the first on something. Akan ada pertama kali untuk segala sesuatunya.

Apa/siapakah yang pertama kali menggerakkan/menciptakan materi? Jawabannya tentu saja adalah dzat non-materi, sesuatu yang ghoib, yang tidak memiliki sifat materi. Maka pemahaman atas sesuatu yang ghoib adalah dengan tidak menganggapnya sebagai sebuah materi. Karena, disadari maupun tidak, kita sering memahami, menyikapi keberadaan Allah sebagai sebuah materi atau benda. Kalau ini yang terjadi, maka pemahaman kita pun akan salah. Untuk memahami dzat non-materi, sekarang coba kita bandingkan sifat-sifat antara materi dan non-materi, benda dan bukan benda.

Materi
Non-Materi
Bersifat relatif (berubah-ubah)
Absolut (mutlak)
Berjumlah banyak
Hanya 1
Satu dengan lainnya sama
Unik

Jadi, Allah itu bukan materi. Oleh karenanya, pemahaman kita terhadap Allah haruslah sesuai dengan sifat-sifat non-materi. Kalau Allah masih kita pahami sebagai memiliki sifat-sifat materiil tersebut, maka kita berarti berupaya mensejajarkan Allah dengan materi. Allah Maha Agung itu berarti bahwa Allah memiliki sifat di luar sekedar materi.
Karena Allah itu dzat non-materi, bukan benda, maka kita tidak bisa mempersepsikan Allah, seabstrak apapun. Kita tidak bisa mempersepsikan non-materi karena kita (manusia) relatif. Eksistensi kita adalah di ranah materi. Di lingkungan materi, persepsi yang kita bangun pasti terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat materiil dan indrawi. Taruhlah ketika kita bisa mempersepsikan Allah, maka keududukan-Nya sebagai sebuah eksistensi non-materi akan jatuh dan kemudian menjadi sama/sejajar dengan materi.
Mari kita bandingkan dengan “Tuhan” agama lain. Jika kita telusuri, maka dalam konsep teologis agama-agama lain sifat-sifat materinya akan muncul. Konsep Ketuhanan Kristen memiliki konsep teologis yang bersifat materiil/kebendaan seperti: adanya Tuhan Bapa dan Anak, persepsi bahwa Yesus itu berkulit putih, berjenggot dan bermata biru. Hindu memiliki konsep teologis berupa dewa-dewa yang bersifat materi, seperti Dewa Api, Dewa Angin dan lain-lain. Buddha bahkan berwujud manusia, yaitu Siddharta Gautama. Itulah “Tuhan-Tuhan materiil”, yang oleh karenanya bisa dipersepsikan.
Oleh karena Allah tidak bisa dipersepsikan, argumen kita menjawab tuduhan bahwa Islam itu bikinan Muhammad. Allah itu tidak bisa dipersepsikan, jadi Allah bukan berasal dari konsep-konsep yang diciptakan oleh manusia. Dalam sejarah Kristen, penulis Injil: Lukas, Mathius itu hidup 100 tahun setelah Nabi Isa wafat. Jadi Injil itu adalah murni karangan manusia.
Disebutkan dalam Thoha: 13-14 bahwa Allah selalu menggunakan kata “Aku”.
13. Dan Aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).
14. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.

Ini menunjukkan bahwa Islam itu bukan dari manusia, tapi dari Allah. Itulah mengapa Nabi Muhammad ditakdirkan tidak punya guru serta tidak bisa membaca dan menulis. Sehingga tidak ada sedikitpun kecurigaan yang bisa dialamatkan kalau Muhammad lah yang “mengarang” Al-Qur’an. Tidak logis. Jadi rasional jika Al-Qur;’an itu jelas bukan buah tangan Muhammad.
Itulah jika coba-coba mempersepsikan sesuatu yang ghoib, hasilnya akan kontradiktif. Sesuatu yang ghoib akan logis dan rasional ketika tidak dipersepsikan dengan logika materi. Logika materi tidak bisa diterapkan dalam memahami Allah yang ghoib. Jika logika materi coba diterapkan, maka analoginya akan keliru, premis mayornya akan salah.
Contohnya adalah pertanyaan: Bisakah Allah menciptakan batu yang sangat besar sampai-sampai Dia sendiri tidak bisa mengangkatnya? Apapun jawabannya (bisa/tidak bisa) tanpa sadar kita sudah menerapkan analogi yang keliru dalam memahami sifat Allah. Sesuatu yang berat/besar dalam kekuasaan Allah tidak bisa dipersepsikan secara analogis dengan sifat-sifat kebendaan yang dipahami manusia. Analogi keliru yang lain adalah: Adilkah ketika kita tidak sama kayanya dengan orang lain? Padahal kita sholat, orang lain tidak. Konsep keadilan Allah tidak bisa kita analogikan dengan keadilan versi manusia. Kalau mengacu pada konsep materiil manusia, maka di dunia ini tidak ada yang adil, tidak ada yang benar-benar seimbang, sama rata persis.
Persepsi atau pandangan materialistik menjadi sesuatu yang salah ketika diterapkan pada ibadah mahdloh. Inilah bid’ah. Jadi bid’ah itu tidak rasional, karena kita berupaya menerka-nerka dengan logika kita sendiri. Dalam ibadah mahdloh tidak ada qiyas maupun ijtihad.

Pada kesimpulannya, dalam upaya memahami Allah, kita sebagai manusia harus mendudukkan akal kita dan menempatkan Allah sesuai dengan posisinya yang semestinya. Akal tidak seyogianya ngoyo woro mensejajarkan kemampuannya terhadap segala sesuatu yang bersifat ghoib dan tidak terjangkau oleh akal. Kemampuan makhluk harus diporsikan dan disandingkan secara seimbang dengan konsep transenden kepada Sang Kholik. Akal haruslah sesuai dengan do’a. Seperti disebutkan dalam Surat Ali-Imran: 190-191

190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.

Jadilah seorang Ulil Albab yang yadzkuruuna (mengimani yang ghoib) wa yatafakkaruun (menggunakan logika)
Reported, Written, and Copyrighted by Sobirin Asnawi
for MI Muhammadiyah Kebumen Sukorejo
Finished on February 13th 2011, 04:44 am.











0 komentar:

Posting Komentar

Unordered List

Sample Text

Asma'ul Husna

sdmimuh.sukorejo@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Entri Populer

About Me

Foto Saya
SD-MI Muhammadiyah Sukorejo
Merupakan lembaga pendidikan Islam yang berorientasi ke masa depan yang berupaya mengarahkan para siswanya agar menjadi generasi yang siap hidup di jamannya. Semua aktifitas pendidikan diarahkan agar anak mampu menyeimbangkan antara fikir, dzikir ilmu dan amal.
Lihat profil lengkapku

Followers